Menjelang 70 Tahun
Peter A.Rohi
(Penulis Buku NATUNA KAPAL INDUK AMERIKA)
SOSOK YANG SEDERHANA, JUJUR DAN UNIK !
SOSOK YANG SEDERHANA, JUJUR DAN UNIK !
Oleh : Husny
Lashinta Rampales
Sebagai anak manusia, dia sosok yang sederhana, jujur,
namun pikirannya sangat kritis, serta pandangan-pandangannya, menurut saya : tepat
sasaran ! Sebagai seorang profesional,
dia sosok wartawan pejuang, dan keuletannya sudah tak lagi diragukan. Tulisan-tulisannya
begitu hidup dan sangat meliputi segala lapisan sosial, mulai dari kalangan
paling atas sampai ke kalangan paling bawah. Sebagai seorang sahabat,
dia pribadi yang memiliki integritas tinggi dalam hubungan antar manusia. Terus
terang, seniorku ini, memiliki keperibadian yang unik, dan sangat sulit saya jumpai
sosok wartawan pejuang seperti dia !
Bulan depan,
tepatnya pada tanggal 14 Nopember 2012, Pendiri Situs Soekarnoinstitut.com ini akan memasuki usia genap 70 tahun. Dalam
rangka merayakan hari ulangtahunnya tersebut dia akan menerbitkan sebuah buku
kenang-kenangan hidup. Kebetulan saya adalah salah satu sahabat terdekatnya
yang dimintanya untuk menyumbang tulisan untuk buku tersebut.
Takdir
pertemuanku dengannya terjadi pada suatu malam di tahun 1982. Saat itu, kota Surabaya
baru saja diguyur hujan. Bersama sahabatku, Henry Noorcahyo, Redaktur Opini di
Harian Pagi Memorandum tempat saya bekerja, kami meluncur dengan mengendarai
sepeda motor menuju ke sebuah rumah di bilangan Kampung Malang, tak jauh dari
pusat Kota Pahlawan itu. Dirumah itulah, yang ternyata miliknya sampai
sekarang, untuk pertama kali saya bertemu dengan Peter.
Waktu itu
saya masih sangat muda, usia duapuluhan, sementara Peter sudah memasuki usia
awal empat puluh. Sebab itu, diantara beberapa orang kami yang hadir disitu,
termasuk diantaranya wartawan Tempo, Peterlah yang kami tuakan. Saya masih ingat, maksud pertemuan malam itu
adalah menyusun Anggaran Dasar untuk persiapan sebuah lembaga baru, yang akan
segera berdiri yakni : Lembaga Bantuan Buku-Indonesia.
Ada dua
energi semangat, yang terasa segera mengalir
dari jiwa Peter masuk kedalam relung-relung jiwa saya. Pertama, semangat
membaca ! Peter mengingatkan, sebuah bangsa yang besar dan cerdas, hendaklah
putera-puterinya gemar membaca buku. Kedua, semangat berjuang ! Malam itu saya
duduk dipojok, diruang tamu itu,
menghirup teh hangat dan kue yang disuguhkan Isteri Peter, sambil membaca sebuah
tulisannya pada sebuah Majalah terbitan Ibukota. Segera saya tersadar, bahwa
orang yang duduk tepat dihadapan saya sekarang ini adalah sosok wartawan pejuang
!
-
1 -
Akhirnya saya
tahu, bahwa karir hidupnya diawali sebagai anggota Marinir (KKO) pada Angkatan
Laut Republik Indonesia, saat mana, ketika itu di tahun 1963 hubungan Indonesia
dan Malaysia sedang mencapai puncak ketegangannya, dan Presiden Soekarno telah
mengumumkan Semboyan Dwikoranya yang terkenal : Ganyang Malaysia ! Setelah mengangkat
senjata-meriam untuk menembak musuh-musuh bangsa, Peter kemudian beralih
mengangkat ‘senjata-pena’ untuk menembak musuh-musuh kemanusiaan ! Dia tercatat
dalam sejarah sebagai Wartawan Indonesia
pertama yang masuk ke Timor Timur saat situasi
politik di negeri bekas jajahan Portugis itu sedang bergolak karena mengalami
perang saudara di Tahun 1975. Dia juga wartawan terakhir yang meninggalkan
wilayah itu pasca referendum tahun 1999.
Tak lama
sesudah pertemuan pertamaku dengan Peter, di tahun 1982 itu, merebaklah berita
Penembakan Misterius (Petrus) di seluruh Tanah Air. Mayat-mayat ditemukan
bergelimpangan dimana-mana, di tengah kota
dan kampung-kampung, dipinggir sawah dan ladang, bahkan di bukit-bukit yang jauh
terpencil. Mayat-mayat tersebut konon adalah mayat bromocorah (penjahat
kambuhan) yang ditembak mati tanpa melalui sebuah proses pengadilan. Siapa
penembaknya juga misterius. Sejarah mencatat bahwa peristiwa tragis yang
berlangsung hingga tahun 1985 itu adalah salah satu sisi kelam pemerintahan
rejim Orde Baru.
Banyak
kalangan yang protes (umumnya secara
diam-diam karena ada rasa takut) atas peristiwa
yang sangat menyentuh rasa peri kemanusiaan itu, tak terkecuali saya dan
Peter. Segera kami berdua mengangkat “senjata” untuk menembak musuh-musuh
kemanusiaan yang misterius itu. Alhasil saya dan Peter memiliki masing-masing
sebuah pengalaman yang sulit terlupakan sampai akhir khayat. Pasca terbitnya
artikel saya di Harian Pagi Memorandum yang berjudul : ‘Politik Dan Hari
Sesudah Mati”, beberapa hari kemudian
saya ditahan dan diinterogasi di Kantor Komando Distrik Militer ( Kodim)
Gresik. Sementara yang dialami Peter lebih tragis lagi. Pada suatu pagi, seperti
biasa dia bangun dari tidur lalu membuka pintu halaman depan rumahnya. Diteras dia
melihat tergeletak sebuah bungkusan, dan dia sempat berpikir siapa gerangan yang
membawa bingkisan itu diwaktu pagi buta. Segera dibukanya bungkusan itu dan
alangkah terkejutnya karena ternyata isinya adalah : Kepala manusia !
Pada tahun
1984, saya pamit kepada media tempat saya bekerja, Memorandum, untuk
berkeliling Indonesia
lewat kapal. Meskipun kadang-kadang saya kembali lagi ke Surabaya untuk beberapa hari, namun saya tak
pernah bertemu dengan Peter. Akan tetapi, komunikasi antara kami berdua seakan tidak
pernah putus, tersambung terus melalui kolom mingguan yang kami tulis pada
harian yang sama, Memorandum. Saya menulis kolom : “Surat-Surat Terbuka Seorang
Pelaut”, dan Peter menulis kolom : “Selamat Pagi Surabaya.”
Pada tahun
1986, selesai sudah pengembaraan saya mengelilingi Indonesia. Saya memilih untuk
menetap di Jakarta ketimbang kembali ke Surabaya. Tetapi tiba-tiba
saya bertemu dengan Peter di Ibukota pada tahun berikutnya, saat mana dia
sedang memimpin sebuah harian yang baru terbit : Jayakarta. Aneh juga pikirku,
seorang Peter yang saya kenal di Surabaya, sebagai Pemimpin Redaksi Suara
Indonesia di kota Malang, tiba-tiba sudah berada di Jakarta untuk sebuah tanggung jawab yang
sama, pada koran yang berbeda. Belakangan saya memahami karakter sahabatku ini.
Saya ibaratkan dia seperti seorang bidan. Setelah membantu kelahiran seorang
anak manusia, melayaninya, segala kebutuhan makanan serta kesehatannya, hingga
meningkat besar, sesudah itu tak lain yang terjadi hanyalah : Perpisahan !
Setahu saya,
banyak koran-koran di Tanah Air yang
kelahirannya dibidani oleh Peter. Sebut saja diantaranya selain Harian
Jayakarya, ada Suara Bangsa, Suara Indonesia, Surya, Krawang Bekasi, dll.
Bahkan Harian Sinar Harapan yang sempat dibredel oleh Rejim Orde Baru, proses
kelahirannya kembali juga dibidani oleh Peter. Saya sempat mempertanyakan hal
karakter Peter yang suka ‘berpisah’ tersebut. Inilah jawabannya : “Bung Husny,”
ujar Peter, “Jangan lupa bahwa wartawan itu bukan kuli, tapi intelektual !”
-
2 –
Selain itu,
sebagai seorang mantan Pelaut Marinir, yang hidup selalu dialam kebebasan
samudera, diatas ombak yang bergulung-gulung tiada henti, seorang Peter
bukanlah tipe manusia yang harus terus menerus menetap pada sebuah ruang yang
sama, dengan menghabiskan waktu yang lama. Semangat jiwanya adalah semangat
lautan, dengan nafas anginnya yang berhembus selalu, serta arusnya yang terus menerus bergerak tiada
henti.
Barangkali
inilah sebabnya menurutku, pada suatu hari saya menelponnya, setelah berpisah
bertahun-tahun lamanya, saya mengatakan kepadanya : “Bung Peter, setahuku
usiamu sudah menjelang kepala tujuh, tapi gelora suaramu, kudengar tetap seperti
dulu, suara balita !“
“Bung Husny,
apa memang ya, suaraku mirip suara balita ?” tanyanya keheranan di telepon
diseberang yang lain. Jawabku : “Bung Peter, suaramu tak dimakan waktu, masih
seperti dulu, gelora suara balita, bawah lima
puluh tahun !” Apa yang terjadi
sesudahnya, hanyalah, masih lewat telepon, kami tertawa bersama-sama.
Antara tahun
1988 dan 2000, saya meninggalkan Tanah Air untuk bertugas dikapal sebagai
Markonis, pada sebuah Perusahaan Pelayaran Asing yang berpangkalan di Hong Kong. Sepanjang masa ini, kapal saya kebetulan
sekali merapat di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.
Waktu itu, di tahun 1994, saya teringat, sudah tujuh tahun lamanya tidak pernah
bertemu Peter. Bersama seorang ABK berkebangsaan Myanmar, kami mendarat ke kota.
Begitu sampai
segera saya telepon Peter, kebetulan dia ada dirumah dan berjanji bertemu di
Gedung Perpustakaan Jalan Pemuda. Apa kata Peter, “ Bung Husny jangan kaget,
boleh jadi tak mengenal saya lagi, karena sudah tak seperti dulu.” “Memangnya
ada apa yang telah terjadi ?” tanyaku keheranan. “Rambutku sekarang gondrong,
panjang sekali !”
Memang benar,
tak sampai satu jam sesudah itu muncullah sosoknya dengan rambut yang panjang
sekali. Kamipun berpelukan penuh rasa persahabatan. Malam itu kami menghabiskan
waktu hingga dinihari, berkeliling kota Surabaya sambil
bernostalgia.
Sayapun
semakin memahami, seorang Peter yang saya kenal, adalah sosok yang hangat dalam
persahabatan. Dalam pergaulan antar sesama, dia orang yang melepaskan segala
bentuk formalitas yang kaku, dan meruntuhkan segala sekat-sekat perbedaan.
Sayapun ikut terbawa serta dalam arus jiwa yang awet muda ini.
Penulis Buku
“NATUNA KAPAL INDUK AMERIKA” ini pada tanggal 14 November 2012 nanti usianya
genap 70 tahun. Kepercayaan diberikan kepadanya untuk menulis buku tersebut,
karena ketika aktif sebagai anggota Marinir pada Angkatan Laut Republik
Indonesia, wilayah Kepulauan Riau merupakan basis pangkalannya. Saat itu
penduduk Pulau Natuna dan Pulau Batam masih sangat sedikit. Khusus di Batam,
pulau yang mirip kalajengking ini, Peter sempat mengajar anak-anak tempatan di
sebuah sekolah sederhana yang mereka dirikan sendiri ditengah situasi darurat
perang waktu itu.
Ada sebuah pandangannya
yang selalu saya ingat yakni ketika dia mengeritik kebijakan Pemerintah Indonesia atas masalah Timor
Timur (Tim-Tim). Saya nyatakan sangat setuju sekali atas pandangannya itu. Karena
saya menilai kritiknya tersebut sangat tepat sasaran. Apa kata Peter, “Tim-Tim
seharusnya di “Timor” kan dulu, baru di “Indonesia” kan !”
Peter benar !
Saya paham betul maksudnya itu. Pulau Timor yang tidak seberapa besar itu, antara
wilayah Timor Barat dan wilayah Timor Timur
sesungguhnya memiliki kultur yang sama. Bahasanya sama, yakni Tetung. Agama
mayoritasnya juga sama, yakni Katolik. Ketika saya sendiri pergi berkunjung ke
Tim-Tim, saya menyaksikan disana bahwa warna Indonesia cenderung dipaksakan !
-
3 -
Ketika saya
melempar pandangan saya sendiri atas tiga dimensi kemanusiaan kita, kali ini
Peterlah yang menyatakan persetujuannya. Tiga dimensi itu, yakni KeKOSONGan
Kultural, KeSATUan Substansial serta
KeRAGAMan Aksidensial : adalah tak lain dimensi-dimensi eksistensi kemanusiaan
kita. Timbulnya masalah diantara manusia, karena terutama sikap penonjolan
perbedaan diantara mereka, misalnya budaya, agama, tingkat sosial dan
lain-lain.
Bersahabat
dengan Peter, semua sekat-sekat perbedaan diatas itu menjadi runtuh. Yang
muncul sebagai penggantinya adalah suatu ruang terbuka dengan langit yang maha
luas, dimana didalamnya jutaan bintang gemerlapan memancarkan cahaya nilai-nilai
universal : suasana toleransi antar sesama, kejujuran, persaudaraan serta rasa
cinta kasih. Persahabatan saya dengan Peter, seperti hubungan antara dua samudera
tiada putus, padahal Peter orang Timor, saya orang Sulawesi, Peter seorang
Katolik dan saya Muslim.
Ketika saya
kembali ke Tanah Air di awal tahun 2000, tak lama sesudah itu, Peter menelpon
saya, katanya dia sedang berada di Krawang, dan meminta saya, kalau ada waktu
menemui dia disana. Siang itu saya berangkat ke Krawang menemuinya. Pada malam
hari, bersama beberapa rekan wartawan dari Jakarta, saya ikut rapat dan diskusi
untuk membahas gagasan pendirian sebuah Koran baru yang akan diberi nama :
Krawang-Bekasi.
Ada dua hal yang saya tangkap dalam diskusi malam itu. Pertama, karena
saya sudah tahu karakter seorang Peter, yang ibarat seorang bidan tadi, saya
sudah memastikan : setelah Koran Krawang Bekasi lahir dan besar, pasti akan
ditinggalkannya lagi. Kedua, dengan mengambil nama Krawang Bekasi, adalah
mengingatkan saya judul sebuah puisi perjuangan ciptaan Penyair kenamaan kita :
Khairil Anwar.
Ini nama tidak saja dimaksudkan untuk membidik sasaran
wilayah pasar secara ekonomis, tapi saya tahu jiwa seorang Peter : Yakni jiwa yang
ada banyak bilik-bilik didalamnya, yakni bilik-bilik yang tak pernah sunyi :
ada bilik nyanyian-nyanyian puitis, ada bilik makna-makna filosofis bahkan ada bilik
jejak-jejak historis……
Jakarta, 14 Oktober 2012
=======================================================================
Husny Lashinta Rampales
Pelaut, Markonis, Penyair.
Pengarang Buku : Surat-Surat Terbuka Seorang
Pelaut : (Balai Pustaka, Jakarta).
Bersama Charles N. Robinson (Inggeris) masuk
: 9 Sailors in the World
Literature
(Library University
of Michigan, Detroit, USA).
Bersama Abraham Lincoln (Amerika ) masuk : 10 Telegraphers in the World Literature
(American Congres Library, Washington
DC, USA).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar