Minggu, 14 Oktober 2012



Menjelang 70 Tahun  Peter A.Rohi
   (Penulis Buku NATUNA KAPAL INDUK AMERIKA)  
SOSOK YANG SEDERHANA, JUJUR  DAN UNIK !   


        Oleh : Husny Lashinta Rampales


Sebagai anak manusia, dia sosok yang sederhana, jujur, namun pikirannya sangat kritis, serta pandangan-pandangannya, menurut saya : tepat sasaran !    Sebagai seorang profesional, dia sosok wartawan pejuang, dan keuletannya sudah tak lagi diragukan. Tulisan-tulisannya begitu hidup dan sangat meliputi segala lapisan sosial, mulai dari kalangan paling atas sampai ke kalangan paling bawah.    Sebagai seorang sahabat, dia pribadi yang memiliki integritas tinggi dalam hubungan antar manusia. Terus terang, seniorku ini, memiliki keperibadian yang unik, dan sangat sulit saya jumpai sosok wartawan pejuang seperti dia !

Bulan depan, tepatnya pada tanggal 14 Nopember 2012, Pendiri Situs Soekarnoinstitut.com ini akan memasuki usia genap 70 tahun. Dalam rangka merayakan hari ulangtahunnya tersebut dia akan menerbitkan sebuah buku kenang-kenangan hidup. Kebetulan saya adalah salah satu sahabat terdekatnya yang dimintanya untuk menyumbang tulisan untuk buku tersebut.

Takdir pertemuanku dengannya terjadi pada suatu malam di tahun 1982. Saat itu, kota Surabaya baru saja diguyur hujan. Bersama sahabatku, Henry Noorcahyo, Redaktur Opini di Harian Pagi Memorandum tempat saya bekerja, kami meluncur dengan mengendarai sepeda motor menuju ke sebuah rumah di bilangan Kampung Malang, tak jauh dari pusat Kota Pahlawan itu. Dirumah itulah, yang ternyata miliknya sampai sekarang, untuk pertama kali saya bertemu dengan Peter.


Waktu itu saya masih sangat muda, usia duapuluhan, sementara Peter sudah memasuki usia awal empat puluh. Sebab itu, diantara beberapa orang kami yang hadir disitu, termasuk diantaranya wartawan Tempo, Peterlah yang kami tuakan.  Saya masih ingat, maksud pertemuan malam itu adalah menyusun Anggaran Dasar untuk persiapan sebuah lembaga baru, yang akan segera berdiri yakni : Lembaga Bantuan Buku-Indonesia.

Ada dua energi semangat,  yang terasa segera mengalir dari jiwa Peter masuk kedalam relung-relung jiwa saya. Pertama, semangat membaca ! Peter mengingatkan, sebuah bangsa yang besar dan cerdas, hendaklah putera-puterinya gemar membaca buku. Kedua, semangat berjuang ! Malam itu saya duduk  dipojok, diruang tamu itu, menghirup teh hangat dan kue yang disuguhkan Isteri Peter, sambil membaca sebuah tulisannya pada sebuah Majalah terbitan Ibukota. Segera saya tersadar, bahwa orang yang duduk tepat dihadapan saya sekarang ini adalah sosok wartawan pejuang !


- 1 -
Akhirnya saya tahu, bahwa karir hidupnya diawali sebagai anggota Marinir (KKO) pada Angkatan Laut Republik Indonesia, saat mana, ketika itu di tahun 1963 hubungan Indonesia dan Malaysia sedang mencapai puncak ketegangannya, dan Presiden Soekarno telah mengumumkan Semboyan Dwikoranya yang terkenal : Ganyang Malaysia ! Setelah mengangkat senjata-meriam untuk menembak musuh-musuh bangsa, Peter kemudian beralih mengangkat ‘senjata-pena’ untuk menembak musuh-musuh kemanusiaan ! Dia tercatat dalam sejarah sebagai Wartawan Indonesia pertama yang masuk ke Timor Timur saat situasi politik di negeri bekas jajahan Portugis itu sedang bergolak karena mengalami perang saudara di Tahun 1975. Dia juga wartawan terakhir yang meninggalkan wilayah itu pasca referendum tahun 1999.

Tak lama sesudah pertemuan pertamaku dengan Peter, di tahun 1982 itu, merebaklah berita Penembakan Misterius (Petrus) di seluruh Tanah Air. Mayat-mayat ditemukan bergelimpangan dimana-mana, di tengah kota dan kampung-kampung, dipinggir sawah dan ladang, bahkan di bukit-bukit yang jauh terpencil. Mayat-mayat tersebut konon adalah mayat bromocorah (penjahat kambuhan) yang ditembak mati tanpa melalui sebuah proses pengadilan. Siapa penembaknya juga misterius. Sejarah mencatat bahwa peristiwa tragis yang berlangsung hingga tahun 1985 itu adalah salah satu sisi kelam pemerintahan rejim Orde Baru.

Banyak kalangan  yang protes (umumnya secara diam-diam karena ada rasa takut) atas peristiwa  yang sangat menyentuh rasa peri kemanusiaan itu, tak terkecuali saya dan Peter. Segera kami berdua mengangkat “senjata” untuk menembak musuh-musuh kemanusiaan yang misterius itu. Alhasil saya dan Peter memiliki masing-masing sebuah pengalaman yang sulit terlupakan sampai akhir khayat. Pasca terbitnya artikel saya di Harian Pagi Memorandum yang berjudul : ‘Politik Dan Hari Sesudah Mati”,  beberapa hari kemudian saya ditahan dan diinterogasi di Kantor Komando Distrik Militer ( Kodim) Gresik. Sementara yang dialami Peter lebih tragis lagi. Pada suatu pagi, seperti biasa dia bangun dari tidur lalu membuka pintu halaman depan rumahnya. Diteras dia melihat tergeletak sebuah bungkusan, dan dia sempat berpikir siapa gerangan yang membawa bingkisan itu diwaktu pagi buta. Segera dibukanya bungkusan itu dan alangkah terkejutnya karena ternyata isinya adalah : Kepala manusia !

Pada tahun 1984, saya pamit kepada media tempat saya bekerja, Memorandum, untuk berkeliling Indonesia lewat kapal. Meskipun kadang-kadang saya kembali lagi ke Surabaya untuk beberapa hari, namun saya tak pernah bertemu dengan Peter. Akan tetapi, komunikasi antara kami berdua seakan tidak pernah putus, tersambung terus melalui kolom mingguan yang kami tulis pada harian yang sama, Memorandum. Saya menulis kolom : “Surat-Surat Terbuka Seorang Pelaut”, dan Peter menulis kolom : “Selamat Pagi Surabaya.”
  
Pada tahun 1986, selesai sudah pengembaraan saya mengelilingi Indonesia. Saya memilih untuk menetap di Jakarta ketimbang kembali ke Surabaya. Tetapi tiba-tiba saya bertemu dengan Peter di Ibukota pada tahun berikutnya, saat mana dia sedang memimpin sebuah harian yang baru terbit : Jayakarta. Aneh juga pikirku, seorang Peter yang saya kenal di Surabaya, sebagai Pemimpin Redaksi Suara Indonesia di kota Malang, tiba-tiba sudah berada di Jakarta untuk sebuah tanggung jawab yang sama, pada koran yang berbeda. Belakangan saya memahami karakter sahabatku ini. Saya ibaratkan dia seperti seorang bidan. Setelah membantu kelahiran seorang anak manusia, melayaninya, segala kebutuhan makanan serta kesehatannya, hingga meningkat besar, sesudah itu tak lain yang terjadi hanyalah : Perpisahan !

Setahu saya, banyak koran-koran di Tanah Air  yang kelahirannya dibidani oleh Peter. Sebut saja diantaranya selain Harian Jayakarya, ada Suara Bangsa, Suara Indonesia, Surya, Krawang Bekasi, dll. Bahkan Harian Sinar Harapan yang sempat dibredel oleh Rejim Orde Baru, proses kelahirannya kembali juga dibidani oleh Peter. Saya sempat mempertanyakan hal karakter Peter yang suka ‘berpisah’ tersebut. Inilah jawabannya : “Bung Husny,” ujar Peter, “Jangan lupa bahwa wartawan itu bukan kuli, tapi intelektual !”
-          2 –

Selain itu, sebagai seorang mantan Pelaut Marinir, yang hidup selalu dialam kebebasan samudera, diatas ombak yang bergulung-gulung tiada henti, seorang Peter bukanlah tipe manusia yang harus terus menerus menetap pada sebuah ruang yang sama, dengan menghabiskan waktu yang lama. Semangat jiwanya adalah semangat lautan, dengan nafas anginnya yang berhembus selalu, serta  arusnya yang terus menerus bergerak tiada henti.

Barangkali inilah sebabnya menurutku, pada suatu hari saya menelponnya, setelah berpisah bertahun-tahun lamanya, saya mengatakan kepadanya : “Bung Peter, setahuku usiamu sudah menjelang kepala tujuh, tapi gelora suaramu, kudengar tetap seperti dulu, suara balita !“
“Bung Husny, apa memang ya, suaraku mirip suara balita ?” tanyanya keheranan di telepon diseberang yang lain. Jawabku : “Bung Peter, suaramu tak dimakan waktu, masih seperti dulu, gelora suara balita, bawah lima puluh tahun !”  Apa yang terjadi sesudahnya, hanyalah, masih lewat telepon, kami tertawa bersama-sama.

Antara tahun 1988 dan 2000, saya meninggalkan Tanah Air untuk bertugas dikapal sebagai Markonis, pada sebuah Perusahaan Pelayaran Asing yang berpangkalan di Hong Kong. Sepanjang masa ini, kapal saya kebetulan sekali merapat di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Waktu itu, di tahun 1994, saya teringat, sudah tujuh tahun lamanya tidak pernah bertemu Peter. Bersama seorang ABK berkebangsaan Myanmar, kami mendarat ke kota.

Begitu sampai segera saya telepon Peter, kebetulan dia ada dirumah dan berjanji bertemu di Gedung Perpustakaan Jalan Pemuda. Apa kata Peter, “ Bung Husny jangan kaget, boleh jadi tak mengenal saya lagi, karena sudah tak seperti dulu.” “Memangnya ada apa yang telah terjadi ?” tanyaku keheranan. “Rambutku sekarang gondrong, panjang sekali !”
Memang benar, tak sampai satu jam sesudah itu muncullah sosoknya dengan rambut yang panjang sekali. Kamipun berpelukan penuh rasa persahabatan. Malam itu kami menghabiskan waktu hingga dinihari, berkeliling kota Surabaya sambil bernostalgia.

Sayapun semakin memahami, seorang Peter yang saya kenal, adalah sosok yang hangat dalam persahabatan. Dalam pergaulan antar sesama, dia orang yang melepaskan segala bentuk formalitas yang kaku, dan meruntuhkan segala sekat-sekat perbedaan. Sayapun ikut terbawa serta dalam arus jiwa yang awet muda ini.   

Penulis Buku “NATUNA KAPAL INDUK AMERIKA” ini pada tanggal 14 November 2012 nanti usianya genap 70 tahun. Kepercayaan diberikan kepadanya untuk menulis buku tersebut, karena ketika aktif sebagai anggota Marinir pada Angkatan Laut Republik Indonesia, wilayah Kepulauan Riau merupakan basis pangkalannya. Saat itu penduduk Pulau Natuna dan Pulau Batam masih sangat sedikit. Khusus di Batam, pulau yang mirip kalajengking ini, Peter sempat mengajar anak-anak tempatan di sebuah sekolah sederhana yang mereka dirikan sendiri ditengah situasi darurat perang waktu itu.

Ada sebuah pandangannya yang selalu saya ingat yakni ketika dia mengeritik kebijakan Pemerintah Indonesia atas masalah Timor Timur (Tim-Tim). Saya nyatakan sangat setuju sekali atas pandangannya itu. Karena saya menilai kritiknya tersebut sangat tepat sasaran. Apa kata Peter, “Tim-Tim seharusnya di “Timor” kan dulu, baru di “Indonesia” kan !”

Peter benar ! Saya paham betul maksudnya itu. Pulau Timor yang tidak seberapa besar itu, antara wilayah Timor Barat dan wilayah Timor Timur sesungguhnya memiliki kultur yang sama. Bahasanya sama, yakni Tetung. Agama mayoritasnya juga sama, yakni Katolik. Ketika saya sendiri pergi berkunjung ke Tim-Tim, saya menyaksikan disana bahwa warna Indonesia cenderung dipaksakan !


- 3 -
Ketika saya melempar pandangan saya sendiri atas tiga dimensi kemanusiaan kita, kali ini Peterlah yang menyatakan persetujuannya. Tiga dimensi itu, yakni KeKOSONGan Kultural, KeSATUan  Substansial serta KeRAGAMan Aksidensial : adalah tak lain dimensi-dimensi eksistensi kemanusiaan kita. Timbulnya masalah diantara manusia, karena terutama sikap penonjolan perbedaan diantara mereka, misalnya budaya, agama, tingkat sosial dan lain-lain.

Bersahabat dengan Peter, semua sekat-sekat perbedaan diatas itu menjadi runtuh. Yang muncul sebagai penggantinya adalah suatu ruang terbuka dengan langit yang maha luas, dimana didalamnya jutaan bintang gemerlapan memancarkan cahaya nilai-nilai universal : suasana toleransi antar sesama, kejujuran, persaudaraan serta rasa cinta kasih. Persahabatan saya dengan Peter, seperti hubungan antara dua samudera tiada putus, padahal Peter orang Timor, saya orang Sulawesi, Peter seorang Katolik dan saya Muslim. 
 
Ketika saya kembali ke Tanah Air di awal tahun 2000, tak lama sesudah itu, Peter menelpon saya, katanya dia sedang berada di Krawang, dan meminta saya, kalau ada waktu menemui dia disana. Siang itu saya berangkat ke Krawang menemuinya. Pada malam hari, bersama beberapa rekan wartawan dari Jakarta, saya ikut rapat dan diskusi untuk membahas gagasan pendirian sebuah Koran baru yang akan diberi nama : Krawang-Bekasi.

Ada dua hal yang saya tangkap dalam diskusi malam itu. Pertama, karena saya sudah tahu karakter seorang Peter, yang ibarat seorang bidan tadi, saya sudah memastikan : setelah Koran Krawang Bekasi lahir dan besar, pasti akan ditinggalkannya lagi. Kedua, dengan mengambil nama Krawang Bekasi, adalah mengingatkan saya judul sebuah puisi perjuangan ciptaan Penyair kenamaan kita : Khairil Anwar.

Ini nama tidak saja dimaksudkan untuk membidik sasaran wilayah pasar secara ekonomis, tapi saya tahu jiwa seorang Peter : Yakni jiwa yang ada banyak bilik-bilik didalamnya, yakni bilik-bilik yang tak pernah sunyi : ada bilik nyanyian-nyanyian puitis, ada bilik makna-makna filosofis bahkan ada bilik jejak-jejak historis……



Jakarta,  14 Oktober 2012
    =======================================================================
Husny Lashinta Rampales
Pelaut, Markonis,  Penyair.
Pengarang Buku : Surat-Surat Terbuka Seorang Pelaut  : (Balai Pustaka, Jakarta).
Bersama Charles N. Robinson (Inggeris)  masuk  :  9 Sailors in the World Literature
                                                                                        (Library University of Michigan, Detroit, USA).
Bersama Abraham Lincoln (Amerika ) masuk      : 10 Telegraphers in the World Literature
                                                                                        (American Congres Library, Washington DC, USA).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar